Kompas.tv, Negeri ini sering berbicara soal pencapaian: jalan tol baru, bandara bertaraf internasional, gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah. Tapi di satu dusun yang kami datangi, seorang guru mengajar murid-muridnya di ruang kelas tanpa atap—hanya dinaungi langit, debu, dan harapan yang belum berwujud. Tak ada AC, tak ada papan tulis digital. Hanya papan kayu lapuk dan semangat yang tetap hidup.
Kami lihat anak-anak duduk bersila, menulis di pangkuan sendiri karena tak ada meja. Saat angin datang, kertas mereka beterbangan. Saat hujan turun, mereka berlari mencari teduh—bukan karena terlambat, tapi karena sekolah mereka tak bisa melindungi. “Katanya pendidikan prioritas,” kata seorang warga, “tapi kami belum tahu seperti apa rasanya prioritas itu.”
Kami tidak menolak pembangunan. Tapi kami bertanya: siapa yang sebenarnya merasakannya? Kami temui tempat-tempat yang belum dijangkau perhatian, tempat di mana papan nama proyek hanyalah janji lama yang tak jadi nyata. Di sekolah tanpa atap itu, kami belajar satu hal penting: tak semua yang dibangun bisa dibanggakan, dan tak semua yang dibanggakan benar-benar menyentuh kebutuhan dasar.
Kami datang bukan untuk menghakimi, tapi untuk menunjukkan: bahwa di balik data dan grafik, ada anak-anak yang tetap bermimpi meski langit adalah satu-satunya atap. Mereka tak minta banyak—hanya tempat yang layak untuk belajar. Dan selama masih ada ketimpangan seperti ini, kami akan terus berjalan, menyusuri ruang-ruang terbuka yang seharusnya sudah tertutup oleh kepedulian.