Detik.com, Setiap kali krisis datang—banjir, kelaparan, konflik, atau kebijakan yang mendadak—pertanyaan yang sering muncul adalah: siapa yang patut disalahkan? Tapi ketika kami tiba di lokasi, pertanyaan itu justru terasa tak cukup. Karena yang kami lihat pertama kali bukan pelaku atau penyebab, tapi wajah-wajah yang tertinggal: yang kehilangan rumah, kehilangan suara, kehilangan arah.
Dalam setiap kegaduhan, selalu ada yang terabaikan. Seorang anak yang putus sekolah karena sekolahnya digabung tanpa penjelasan. Seorang ibu yang kehilangan penghasilan karena pasar direlokasi. Tak ada nama mereka di daftar tanggapan darurat atau berita utama. Tapi mereka ada—hidup di jeda antara keputusan besar dan dampaknya yang sunyi.
Kami datang bukan untuk menunjuk jari, tapi untuk melihat siapa yang berdiri terakhir saat semua orang sudah pergi. Kami mencari cerita di balik statistik: orang-orang yang tak sempat bicara di rapat, tapi paling dulu merasakan akibat. Karena sering kali, mereka yang tertinggal tak punya waktu untuk marah—mereka sibuk bertahan.
Tugas kami bukan mengadili, tapi menyusul. Menyusul ke tempat-tempat yang luput dari perhatian, menyusul cerita-cerita yang tercecer di tepi arus berita. Kami percaya, keadilan tak lahir dari adu argumen, tapi dari keberanian untuk mendengar mereka yang selama ini tak diberi ruang. Dan itulah yang terus kami coba lakukan—dalam tulisan, dalam perjalanan, dalam keheningan yang kami dengarkan baik-baik.